Bivitri Susanti Pakar Hukum Tata Negara (HTN) menilai hukum acara sengketa Pilpres 2024 terkesan mengkerangkeng para pihak agar kebenaran substansif tidak terkuak.
Menurut dia, hukum acara yang saat ini sulit bagi para pihak di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memaparkan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Hal ini disampaikan Bivitri dalam acara diskusi bertajuk “Arah Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Sengketa Pemilu Presiden 2024” di JI. Cemara No. 19, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2024). Hadir juga Prof. Romli Atmasasmita Guru Besar Bidang Hukum, Hasto Kristiyanto Sekjen PDIP dan Djarot Saiful Hidayat Ketua DPP PDIP.
“Menurut saya, kalau Mahkamah Konstitusi masih dikerangkeng oleh hukum acara, yang sebenarnya membatasi pencarian keadilan yang substantif, maka jawabannya tidak,” kata Bivitri.
Bivitri menyampaikan dirinya mengetahui para pihak yang menggugat, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar paslon 01 dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD paslon 03, sedang mencari keadilan.
Bivitri juga merasakan adanya kejahatan Pilpres 2024 yang bersifat TSM. Hukum acara yang ada dalam MK saat ini semakin sulit bagi para pihak untuk membuktikan itu.
“Jeruji itu salah satunya adalah waktu, pembatasan waktu. Yang implikasinya kepada pembatasan jumlah saksi, cari saksi diperiksa. Jadi, banyak implikasinya,” jelas dia.
Menurut dia, sidang sengketa Pilpres 2024 hanya 14 hari, sedangkan untuk Pileg 30 hari kerja. Dia mengingatkan pada Pilpres 2019, Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU) sampai subuh.
“Bayangkan itu cuma satu pemohon, sekarang dua pemohon, lho, bukan cuma satu. Dan sekarang juga bobot dugaan kecurangannya besar sekali. Menurut saya ini adalah Pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia,” tegas dia.
Dia juga mengkritisi saksi ahli dan saksi fakta hanya dibatasi 19 orang. Saksi fakta hanya boleh bersaksi 15 menit, sedangkan ahli 20 menit. Dan hal itu sudah masuk dengan waktu pendalaman.
“Pengalaman saya sebagai ahli, tetapi dalam perkara-perkara lain, ya, PUU pengujian undang-undnag di MK, saya tahu persis ketika menggali persoalan-persoalan itu pasti panjang, enggak mungkin 15-20 menit. Itu, ya, mungkin tetapi nanti mendapatkan hal yang seharusnya kita cari di luar kerangkeng itu. Itu yang saya maksud dengan tidak mungkinnya dalam hal itu. Mungkin enggak? Ya, mungkin tetapi nanti sama aja kayak teman-teman enggak puas, ‘aduh konferensi persnya cuma segini, enggak sempat nanya’ itu yang akan terjadi seperti itu,” jelas dia.
Menurut Bivit, aturan 14 hari ini sebenarnya pernah dikesampingkan oleh MK pada 2003. Dia menilai hakim konstitusi sebenarnya bisa juga melakukannya saat ini.
“Menurut saya sih mungkin aja karena MK pada 2003 itu pernah dia sendiri yang mengesampingkan, jadi, istilahnya mengesampingkan dulu teman-teman baru kemudian belakangan pada perkara kedua dibatalkan, mengesampingkan pasal 50 UU MK 2003. Jadi, waktu MK waktu pertama kali berdiri,” kata Bivitri.
‘Karena apa? UU MK yang pertama itu membatasi MK Pasal 50-nya, MK hanya boleh menguji UU yang dibuat setelah amandemen konstitusi. Nah, dia kesampingkan sendiri sehingga dia bisa menguji UU yang lain. Bayangkan kalau pasal itu enggak dikesampingkan dan kemudian dibatalkan, enggak bisa itu UU KUHP diuji, enggak bisa UU perkawinan tahun 74 diuji, enggak bisa UU lainnya yang lahir sebelum 2002 itu diuji MK,” tambah Bivitri.
Di sisi lain, Bivitri juga mengajak masyarakat untuk cerdas dalam membaca peristiwa hukum. Bivitri meminta masyarakat tidak termakan narasi yang menyebutkan Pilpres tidak bisa diulang.
“Jangan terkunci oleh supaya war advokat di MK yang mulai mengatakan enggak mungkin KPU segera pemilu ulang. Kalau saya, ya, kalau berbicara keadilan substantif itu, janganlah kita dikerangkeng duluan oleh asumsi-asumsi. Kita bicara bukan enam minggu enam hari, lho, teman-teman. Enam bulan lagi, kok, 20 Oktober. Enggak ada yang mau presiden diperpanjang, enggak ada, tetap 20 Oktober kita akan melantik presiden baru. Enam bulan itu waktu yang cukup,” kata Bivit. (faz/ham)